"Seseorang akan selalu bersama dengan orang yang dicintainya" kata sebuah lantunan.
Sederet umpan lambung mengenai kepalaku dan kemudian mengajak anganku menyusuri pengalamanku tentang "Cinta yang telah tertanam hingga cinta yang meredam paham"
Begini mulanya.
Aku mengatakan, "aku mencintai Yesus". Melalui perkataan dan berbagai ayat tentang Tuhan Alpha dan Omega serta seuntai kalimat pertama di atas, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bahwa sebelum aku mengenal Yesus,
Yesus sudah bersamaku.
Dan saat ini, aku mengenal Yesus, saat ini juga Dia ada bersamaku.
Hingga aku tertarik, dan belajar seluk belukNya, yang mana aku belajar menguatkan cintaku padaNya hingga saja aku tanpa aba-aba tertunduk dan mendapati diriku rindu padaNya.
Membayangkan bagaimana wajahNya, dan terbersit pertanyaan
"Apa memang Yesus juga rindu padaku?
Apa memang Yesus juga menginginkan kehadiranku?
Apa memang mencintai Yesus juga dengan hal yang harus diperjuangkan dan bercampur pada kesukaanNya yang begitu sempurna seolah melupakan kehadiran nafsu?"
Sungguh aku hamba yang sesat, menganalogikannya dengan cara dunia. Tentang seorang wanita yang katanya cintanya harus diperjuangkan, yang saat aku mengatakan "sepertinya aku mencintai dia,
dan agar aku dicintai olehnya,
aku harus memperjuangkannya,
memberikan waktu baginya,
memberikan perhatian baginya,
menanyakan kabarnya,
menanyakan kelancaran hari-harinya".
Sungguh, jika seperti itu mencintai Yesus dan akan bersamaNya di hari akhir tentunya aku harus membuat Yesus mencintaiku juga. Arghhh aneh, lalu bagaimana aku tahu kabar Yesus sekarang, bagaimana aku tahu kelancaran hari-hariNya. Romantika denganNya di alam setelah ini akan bagaimana?
Sungguh dengan yakin Yesus melampaui logikaku. Dan saat ini,
Kumaknai cinta dengan tak berharap dicintai kembali. Kumaknai cinta dengan pilihan tak kenal penyesalan Kumaknai cinta dengan terus berani menanyakan akan kelancaran hari-harinya tak peduli dia atau Dia mengacuhkanku bahkan mengolok-olok aku.
Kumaknai cinta tanpa terganggu dengan kalimat "sabar juga ada batasnya". Dan aneh, aku manusia fana sedang mempecundangi esensiku sebagai manusia.
Dengan sombong, ingin sederajat dengan yang Maha Segalanya.
Dan sepertinya benar yang dikatakan lantunan itu, "Kita akan selalu bersama dengan mereka yang kita cintai" mengapa?
Karena kita berani menerjang tembok sekeras ego dan memilih untuk tidak meninggalkan.
Kita tabah menerjang tembok sekeras ego dan tak merasa sedang berkorban.
Jika memang begitu,
Lalu selebihnya hanya tentang transaksi kebaikan.
Jan..
Lintong, 09 Oktober 2022