Malam sudah cukup larut ketika Josef duduk sendiri di warkop kecil di sudut jalan, tangannya menggenggam secarik kertas yang ia tulis dengan hati-hati. Kertas itu seharusnya digunakan untuk mencatat pesanan makanan, tetapi malam ini, kertas itu penuh dengan kata-kata yang datang dari kedalaman hatinya. Josef memandang uap bandrek di cangkirnya, mencoba menenangkan dirinya, menunggu kehadiran sahabatnya, Helsin.
Tak lama, pintu warkop berderit terbuka, dan Helsin melangkah masuk. Ia melambai kecil ke Josef, lalu mengambil tempat duduk di hadapannya. Tanpa basa-basi, ia menatap Josef dengan senyum hangat, tahu bahwa sahabatnya sedang membawa sesuatu yang berat.
“Ada apa, Jo? Lo keliatan lagi banyak pikiran,” kata Helsin, membuka percakapan.
Josef menghela napas dalam-dalam. “Gue baru aja mutusin buat kasih ruang ke dia, keknya gue cukup mengusik hari-harinya.”
Helsin mengangguk pelan, membiarkan Josef melanjutkan.
“Awalnya, dia cukup terbuka. Dia cerita banyak hal; tentang keluarganya, kesehariannya. Gue ngerasa ada tempat buat gue di hidupnya. Tapi belakangan ini, gue nggak lagi punya topik buat dibicarain, Sin. Gue takut jadi beban buat dia, bikin dia merasa harus jawab pertanyaan gue karena nggak enak.”
“Lo yakin dia ngerasa terbebani?” Helsin menatap Josef dengan serius, matanya penuh rasa ingin tahu.
Josef mengangkat bahunya. “Entahlah. Gue takut, gue cuma jadi orang yang ngasih beban tambahan di hidupnya. Gue sering cerita soal masalah keluarga gue—hal-hal yang berat dan mungkin bikin dia sedih. Gue nggak mau dia dengerin gue cuma karena kasihan. Gue bahkan nulis puisi ini tadi sebelum lo datang,” katanya sambil menyerahkan kertas di tangannya ke Helsin.
Helsin menerima kertas itu dan mulai membacanya dalam hati, menelusuri setiap kata yang tertulis di atasnya:
> Aku sadar bahwa...
Saat ini aku tak mencintaimu pada pandangan pertama
Melainkan seiring waktu
Maka hatikupun tak bisa melepaskanmu pada tangisan pertama
Melainkan seiring waktu...
Sebisaku
> Membencimu bukanlah pilihan
Karena memang tidak ada alasan untuk itu
Lagipula aku terlalu dewasa untuk menyalahkan orang seperti dirimu
Membenci Tuhan aku tak mampu
Bagaimana mungkin aku menyalahkan yang maha segala maha
Lagipula kemana lagi aku bisa berharap pertolongan
Akhirnya aku membenci diri sendiri
Menyalahkan diri yang bukan hanya tidak sempurna tetapi juga jauh di bawah rata-rata baik secara
Fisik
Finansial
Kejiwaan
Kecerdasan
Pendidikan
Atau status sosial
Aku lepaskan kau tanpa dendam
Ini semua salahku
Aku tak berhak marah
Kau pergi dengan permisi
Kau pamit tanpa mengkhianati
Apalagi yang bisa kutuntut?
Keputusanmu tidak bisa kuhalangi
Memaksakan keinginan? Aku tahu diri.
Pergilah...
Aku paham
Kau hanya menjadi manusia normal
Makhluk dengan naluri
Untuk mencari kebahagiaan yang lebih besar lagi.
Helsin selesai membaca, lalu menatap Josef, ada kilau empati di matanya. “Puisi lo ini dalam banget, Jo. Lo benar-benar berusaha memahami dan melepaskan dia tanpa dendam, tanpa menyalahkan siapa-siapa. Itu bukan hal yang mudah, dan gue salut sama cara lo ngungkapin perasaan lo ini.”
Josef tersenyum kecil, merasa sedikit lega. “Gue cuma pengen dia tahu kalau gue selalu ada di sini, meskipun mungkin kehadiran gue nggak berarti banyak buat dia.”
Helsin meraih tangan Josef, menepuknya pelan. “Kadang, yang kita anggap nggak berarti, justru bisa jadi sesuatu yang penting buat orang lain. Lo udah lakukan yang terbaik, Jo. Dan kalau suatu hari lo siap buat ngobrol lagi, lakuin itu karena lo mau, bukan karena lo ngerasa terpaksa.”
Josef mengangguk, menghangatkan tangan di sekitar cangkir bandrek. Malam semakin larut, tetapi percakapan mereka di warkop itu membawa kehangatan yang perlahan mengusir dingin. Mereka saling mengerti, dalam kebisuan dan kehangatan persahabatan, seakan dunia luar yang dingin tak lagi berarti.
Untuk mencairkan suasana, Helsin mencoba mengalihkan topik. “Eh, si Devon katanya balik dari Jakarta sekarang ya?”
Josef sedikit tersenyum, mengangguk. “Iya, tadi pagi katanya udah sampai. Dia bilang bentar lagi mau ke sini. Katanya ada kejutan buat kita, tapi gue juga nggak tahu apa itu.”
Helsin tertawa kecil. “Kayaknya bakal ada aja yang aneh-aneh dari si Devon. Lo tau lah, gayanya yang selalu bikin penasaran.”
Mereka tertawa kecil, membuat suasana yang sempat muram perlahan mencair. Josef mengambil cangkir bandreknya, menyeruput minuman hangat itu, dan merasa sedikit lebih baik. Helsin terus mengajak Josef berbicara tentang hal-hal ringan sambil sesekali melontarkan candaan untuk membuat sahabatnya tersenyum.
Tak lama kemudian, pintu warkop berderit terbuka lagi, dan masuklah sosok yang mereka tunggu—Devon, dengan jaket hitam dan senyum lebar. Ia melambaikan tangan sambil berjalan mendekat, lalu langsung duduk di samping Josef dengan antusias.
“Bro, gue ada kabar seru banget buat kalian!” serunya sambil nyengir.
“Wah, apaan tuh, Dev?” tanya Helsin dengan antusias, ikut penasaran.
Josef juga mengangkat alis, menatap Devon yang terlihat sangat bersemangat. “Ayo, cepetan kasih tau! Apa kejutan lo?”
Devon menatap mereka berdua, menahan diri sejenak seakan ingin membangun ketegangan. “Jadi, beberapa bulan lalu gue ikutan program MBKM. Awalnya gue pikir biasa aja, tapi ternyata gue lolos buat Pertukaran Mahasiswa!”
Helsin dan Josef saling bertukar pandang dengan ekspresi terkejut. Helsin langsung menepuk pundak Devon, setengah tertawa. “Wah, keren banget! Itu program yang ke Jerman, kan?”
Devon mengangguk, wajahnya berseri-seri. “Iya! Gue bakal berangkat semester depan ke Jerman. Gila, bro, nggak nyangka banget! Gue bakalan belajar di sana selama enam bulan.”
Josef, yang tadinya masih tenggelam dalam perasaannya, merasa semangat Devon mulai menular. Ia menepuk punggung sahabatnya dengan bangga. “Dev, keren banget! Ini kejutan yang gue sama sekali nggak nyangka. Lo berhasil bikin kita kagum.”
Devon tertawa sambil menundukkan kepala, tampak sedikit malu. “Yah, gue juga nggak nyangka bisa lolos. Gue kan selalu cerita ke kalian kalau pengen banget ngerasain studi di luar negeri, ngeliat budaya baru. Gue masih nggak percaya, sih, beneran bakal ke Jerman.”
Helsin mengangguk sambil tersenyum lebar. “Gue yakin lo bakal banyak belajar di sana, Dev. Dan yang paling penting, lo bakal punya pengalaman yang nggak semua orang bisa dapetin.”
Josef mengangguk setuju. “Iya, Dev. Lo pasti bakal dapet banyak hal dari pengalaman ini. Lo layak dapetin ini karena kerja keras lo selama ini.”
Devon menatap kedua sahabatnya dengan senyum hangat, tampak terharu. “Makasih banget, bro. Tanpa dukungan kalian, gue nggak tahu apa bisa sejauh ini. Nanti, gue bakal kirim kabar dari Jerman. Gue nggak akan lupain kalian.”
Percakapan mereka terus berlanjut dengan suasana yang penuh kebahagiaan dan semangat. Kehadiran Devon membawa semangat baru di malam yang sempat penuh perasaan haru. Di warkop kecil itu, di bawah langit malam yang sepi, mereka berbagi mimpi dan harapan. Meskipun ada perpisahan yang menanti di depan, persahabatan mereka menjadi pengingat bahwa mereka akan selalu punya tempat untuk kembali.